News

←   Kembali

"Tingginya Tuntutan Standarisasi dan Sosialisasi Klirens Etik untuk Penelitian bagi Peneliti Asing dan Peneliti di Universitas se Indonesia" - Triono Soendoro, Ketua KEPPIN pada Rapat Kerja Terbatas Dewan Ketahanan Nasional RI

Penelitian secara etis dinyatakan dapat disetujui bukan ditelaah semata-mata dari aspek nilai sosial dan ilmiah, melainkan harus dilakukan dengan cara-cara yang menunjukkan rasa hormat dan kepedulian terhadap hak-hak dan kesejahteraan manusia sebagai subyek dan masyarakat di mana penelitian dilakukan, dan dipastikan bahwa risiko diminimalkan, wajar mengingat pentingnya persyaratan lain.

Penelitian juga harus peka terhadap isu-isu keadilan dan kewajaran. Kekhawatiran ini tercermin ketika peneliti menentukan pilihan subyek (bukan obyek) demi kebutuhan penelitian semata; bagaimana pertimbangan risiko, beban, dan antisipasi manfaat individu terdistribusikan; dan siapa yang akan memiliki akses ke pengetahuan dan intervensi yang dihasilkan. 

Tugas utama yang diemban peneliti adalah melakukan penelitian ilmiah yang berpegang teguh pada prinsip, standar, pedoman etik, dan integritas serta tanggungjawabnya. Agar penelitian berjalan baik, sejogyanya seorang peneliti memahami wawasan berpikir ilmiah (kognitif) dan berpikir etik (relasional) terkait topik dan jenis penelitian yang menjadi minatnya. 

Sebelum hasil penelitian dapat dimanfaatkan dengan aman dan efektif untuk kesejahteraan manusia, diperlukan persyaratan dengan mengikutsertakan relawan manusia sebagai “subyek”, bukan “obyek” penelitian. Relawan manusia yang bersedia menjadi subyek penelitian mungkin akan mengalami ketidaknyamanan dan rasa nyeri serta terpapar terhadap berbagai jenis risiko fisik, sosial, dan psikologis. 

Sebagai peneliti yang etis, bukan saja wajib menghargai kesediaan dan pengorbanan relawan manusia tetapi juga menghormati dan melindungi kehidupan, kesehatan, keleluasaan pribadi (privacy), dan martabat (dignity) subyek. Hewan coba juga wajib ditangani secara ‘beradab’ (humane) supaya sejauh mungkin dikurangi penderitaannya. Pelaksanaan kewajiban-2 moral (moral obligations) tersebut adalah inti etik penelitian.

Peneliti sudah mengenal dan terbiasa dengan proses penilaian ilmiah (scientific review); didasarkan atas kaidah, hakikat, dan prinsip ilmiah yang universal dengan cara dan metode yang sudah diakui keabsahaannya. Namun, belum semua ilmuwan dan peneliti memahami proses penilaian penelitian dari demensi etik dengan menyisipkan serta mengacu pada pedoman etik dalam desain penelitian. 

Telaah etik penelitian tidak dapat hanya menggunakan cara absolut antara benar dan salah tetapi pemikiran yang lebih baik, wajar atau pantas, kurang baik, atau tidak dapat diterima. Juga tidak dapat dibakukan dengan pendekatan seragam atau “blanket approach”. Setiap protokol penelitian yang dinilai harus diperlakukan sebagai karya unik, yang wajib mengacu pada prinsip, standar, dan pedoman universal/global.

Pada tahun 1979 laporan Belmont (USA) menyajikan tiga (3) prinsip etik penelitian terhadap relawan manusia sebagai subjek yaitu Rasa Hormat (Respect for Persons), Baik (Beneficence/Non-Maleficense), dan Adil (Justice); yang bersifat universal dan telah disepakati dan diakui sebagai prinsip etik yang memiliki kekuatan moral, dapat dipertanggung jawabkan menurut pandangan etik maupun hukum. 

Kemudian pada tahun 2011 diterbitkan tujuh (7) standar operasional WHO untuk menerbitkan klirens etik penelitian dan dua puluh lima (25) pedoman mutakhir WHO-CIOMS 2016; pada gilirannya secara global telah digunakan sebagai rujukan sebagai “klirens” telaah etik. Secara Nasional, landasan yuridis yang menjadi acuan adalah: UU Kesehatan 1992; PP 39/1995, terakhir adalah mengacu pada UU Simnas Iptek 2019.

Sumber:

Internal Dewan Ketahanan Nasional RI

Internal Sekretariat KEPPIN