News

←   Kembali
Premis KEPPIN: Visioning & Aplikasi digiTEPP

Premis KEPPIN: Visioning & Aplikasi digiTEPP

Kita tumbuh dan terbiasa dengan perubahan sebagai reaksi atas desakan dari luar (sikap reaktif); namun, bibit pembelajaran riil adalah aspirasi, imajinasi, dan upaya melakukan “uji coba”. 

 

Selagi kanak-kanak, kita melampaui beberapa proses pembelajaran yang mencengangkan tanpa adanya motivasi dari luar (eksternal). Kita belajar berjalan, berbicara, bukan karena kita “harus” begitu, tapi karena kita “ingin” begitu. Inilah fenomena “intrinsik”. Lambat laun, sayangnya, kita menjadi terkondisi untuk bereaksi terhadap perintah orang lain, dan tergantung pada persetujuan orang lain. 

 

Secara mendasar, tidak ada yang salah dengan wewenang eksternal; tidaklah efisien belajar tentang bahaya memasukkan tangan di saklar listrik melalui percobaan. Masalahnya, lingkungan dan lembaga yang ada saat ini menggunakan wewenang berlebihan, sehingga melemahkan dorongan intrinsik kita untuk melakukan pembelajaran dalam penelitian, khususnya terfokus “etik penelitian”.

 

Premis pertama, definisi utama pembelajaran di ranah etik peneltian adalah melalui pembahasan berbagai kasus di ranah Penyusunan Protokol Penelitian yang Etis dan GCRP (Good Clinical Research Practice) dengan pendekatan “case based learning”. Namun, kita tidak akan dapat memikirkan pembelajaran, tanpa melakukan bagaimana “cara mempraktekkannya” secara tetap – melalui “dialog” dan memanfaatkan tool “aplikasi digiTEPP” (Digitalisasi Telaah Etik Protokol Penelitian). 

 

Keterbatasan mendasar yang ada pada setiap kemampuan tiap orang, hanya dapat diatasi jika hal tersebut dikembangkan secara bersama-sama, seperti “lapangan permainan” yang diciptakan pada “pembelajaran bersama/kolektif” – suatu level playing field/arena yang dapat menciptakan “fredom of expression” tanpa diliputi oleh “siklus rasa takut”, dan “rasa malu utk tampil”.

 

Intrinsik platform utamanya adalah memberdayakan semua orang kearah penguasaan diri (premis kekuatan pribadi) yang pada gilirannya sama artinya dengan memberdayakan lembaga KEP (Komite Etik Penelitian) yang fokusnya pada pengembangan ETIK; namun, ini bisa berlaku hanya jika setiap individu benar-2 sejajar dalam melihat rasionalitas tujuan yang terfokus dan saling berterima (“keberterimaan tanpa syarat”), tanpa hirarkhis, ketika berbagai impuls external (driving forces/dorongan perubahan) lebih berperan dalam membangkitkan kreatifitas.

 

Kata kunci disini adalah rasa saling berterima dalam tim; yakni, keberterimaan secara mutual, secara imbal balik tanpa syarat, tanpa kondisi, baik berbentuk harapan, maupun berbentuk balas budi. Ini mengandung makna kesejajaran, baik dalam pengertian ruang psikis, yang terbuka untuk orang lain, maupun dalam pengertian kesejajaran potensi yang dimiliki. 

 

Kesejajaran dalam hubungan akan melahirkan ruang interaksi yang rileks, tidak tegang. Karena tidak ada ketegangan, plastisitas dalam interaksi akan muncul sehingga melahirkan toleransi. Tiadanya ketegangan juga akan melahirkan kreativitas, dan mengoptimalkan potensi kecerdasan. Dalam situasi seperti ini, semua orang dalam tim akan memiliki kecerdasan yang semakin berkembang. 

 

Kesejajaran juga bermakna pengakuan terhadap adanya intelegensi yang sama dalam suatu tim. Karena itu, pembekalan dalam “bimbingan (mentoring) sebagai fasilitator/kerjasama tim” diarahkan pada upaya-upaya membangun empati, sikap, dan kebersamaan (lihat “program mentoring KEPPIN”. Kebersamaan terwujud dalam menyatunya rasa keutuhan (identitas kolektif) diantara anggota yang tidak bisa dipisahkan.

 

Kesemuanya berkaitan dengan premis tentang kekuatan pribadi dan Kerjasama tim yaitu dimana setiap orang memiliki tujuan yang unik. Orang hanya mulai berusaha memenuhi potensi kreatif mereka, ketika mereka memiliki taraf kesetaraan diri yang tinggi dalam hidup mereka, yaitu ketika usaha pencarian diri dan cita-cita—dua hal yang menjadi komitmen—sejajar dengan tujuan pribadi mereka. Definisi sederhana dari kekuatan pribadi adalah kemampuan seseorang mewujudkan tujuan pribadinya. 

 

Definisi yang lebih dekat lagi adalah: rentangan kehidupan yang dapat diciptakan seseorang sesuai dengan cara yang diinginkan. Masalahnya adalah manakala kita bertanya pada kebanyakan orang tentang apa yang mereka inginkan, keinginan mereka seringkali tidak mendasar. 

 

Keinginan itu adalah benda-benda yang mereka ingin jauhi atau sekedar barang. Ini mencerminkan suatu kepercayaan pada keterbatasan sepanjang hidup. 

 

Premis kunci kedua yang berkenaan dengan kekuatan pribadi adalah bahwa apa yang dipegang teguh oleh seseorang didalam kesadarannya cenderung menjadi kenyataan dalam dunia nyata. Sayangnya, konflik batin internal membatasi kekuatan dan mendorong seseorang menjadi sangat manipulatif didalam memenuhi tujuannya. Kuncinya adalah bagaimana memunculkan/melepaskan secara spontan (emerge) kekuatan/tegangan kreatif sejajar dengan tujuan pribadi. 

 

Proses penguatan berkembang pada orang yang sangat kreatif: karena secara internal ia menjadi lebih setara, hasil-hasil yang ia ciptakan dalam kehidupannya menjadi lebih konsisten dengan tujuan pribadinya; gambaran ini mengantarkan kita kepada pemahaman tujuan yang lebih luas, dan lebih banyak komitmen muncul; dan pada akhirnya, kesetaraan yang dalam serta kemampuan kreatif.

 

Premis kunci ketiga mengkaitkan tujuan individu dan kekuatan dengan kemampuan penciptaan di organisasi. Ketika proses visioning individu terbuka diantara kelompok yang punya komitmen terhadap tujuan yang sama, tujuan utama dan visi kelompok (Etik Bertaraf Global) akan mulai muncul. Karena kemampuan mencipta individu berasal dari kesetaraan tujuan tersebut, maka dinamika yang sama akan muncul dan berfungsi pada jaringan organisasi terwujud sebagai kerjasama tim: kekuatan kohesivitas. Ini menjadi visi organisasi yaitu KEPPIN, bukan visi pribadi. 

 

Visi kelompok bukan visi pribadi yang paling vokal atau paling dominan. Visi ini adalah sesuatu yang ada dengan sendirinya, dan organisasi (KEPPIN) adalah sebuah wujud lain yang ada dengan sendirinya. Wawasan berpikir etik yang sedang kita tapaki ini menyiratkan pemahaman organisasi sebagai suatu organisme yang hidup (Living Systems) menuju “Social Systems”. Terkait dengan hal ini, dinamika sistem menjadi cara organisasi memahami diri sendiri secara lebih baik, dan mengembangkan rancangannya secara lebih efektif dalam rangka mencapai tujuan.

 

Kesemuanya diatas tadi, merupakan landasan untuk mewujudkan yang diinginkan oleh KEPPIN.

 

Semarang, 17 Nopember 2022